Mayoritas masyarakat Pakistan menilai perayaan Hari Valentine tidak Islami, karena bagi mereka menunjukkan kasih sayang selayaknya ditunjukkan sepanjang masa bukan dikhususkan hanya pada satu hari tertentu saja.
"Agama kami (Islam) mengajarkan kami untuk bersikap baik dan saling mencintai antar seluruh anggota keluarga seumur hidup kami. Bagi saya aneh, melihat sejumlah orang menantikan kedatangan suatu hari di mana mereka bisa menunjukkan kasih sayang pada isteri atau saudara-saudaranya yang lain, " kata Tanya Hussein, seorang guru.
Zohaib seorang eksekutif di perusahaan multi nasional di Karachi bahkan menilai hari Valentine sebagai perayaan yang "terkesan bodoh."
"Saya pikir, bagi pasangan menikah, romatisme bahkan bisa dilakukan hanya dengan duduk bersama pada malam hari sambil menikmati kopi. Sengaja membuat rencana untuk satu hari seperti itu, terkesan bodoh sekali, " ujar Zohaib.
Sebagian besar masyarakat Pakistan tidak begitu peduli dengan hari Valentine. "Saya tidak tahu hari apa itu?" kata Jummah Shah seorang buruh di pelabuhan Karachi.
Menurut Jummah, masyarakat Pakistan tidak punya waktu mengingat apalagi merayakan hari Valentine, karena mereka harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
"Kami tidak punya waktu untuk hal semacam itu, " katanya sambil tertawa lebar.
Ia menyambung, "Acara-acara seperti itu hanya untuk mereka yang punya banyak uang. Sedangkan saya hampir tidak mampu mencari nafkah untuk keluarga saya. Saya tidak punya waktu untuk memberi hadiah atau bunga. "
Budaya BaratMeski pemerintah Pakistan-negara yang mayoritas penduduknya Muslim-tidak melarang mereka yang ingin merayakan Valentine, para ulama di negara itu sejak lama menyatakan bahwa perayaan itu merupakan produk budaya Barat.
"Ini adalah taktik yang digunakan Barat untuk merusak pemikiran anak-anak muda kita. Apa hubungannya cinta dengan pesta anggur dan dansa-dansa, saling bertukar hadiah dan berkumpulnya pasangan-pasangan yang belum menikah, " kritik Khalil ar-Rahman, seorang imam masjid di Pakistan.
Ia menambahkan, kebiasaan merayakan hari Valentine bisa mendorong hubungan pra-nikah yang dilarang dalam Islam.
"Masyarakat kita tidak seperti masyarakat Barat di mana seorang anak harus berpisah dengan orang tuanya saat ia sudah berusia 18 tahun ke manapun mereka mau pergi. Kita tidak bisa membiarkan anak-anak gadis dan anak laki-laki kita melakukan hubungan pra-nikah, " papar ar-Rahman.
Meski demikian, ada segelintir orang Pakistan yang merayakan hari Valentine dengan alasan hanya sebagai selingan untuk mengurangi kejenuhan hidup sehari-hari.
"Saya capek dengan rutinitas sehari-hari, khususnya menjaga anak-anak. Setiap hari ulang tahun perkawinan, ulang tahun kelahiran dan hari Valentine, saya bisa mendapatkan alasan untuk bisa mengenakan gaun dan pergi keluar bersama suami tanpa anak-anak, " kata Ghazala, seorang ibu rumah tangga berusia 21 tahun.
Ghazala mengaku tidak peduli dengan asal muasal hari Valentine yang berakar pada agama Kristen. "Siapa yang peduli? Saya merayakannya hanya untuk melepaskan kepenatan dari rutinitas sehari-hari, tidak lebih, " tukasnya.
Ahmad, seorang mahasiswa mendukung pernyataan Ghazala. "Segala sesuatu selayaknya jangan selalu dikaitkan dengan Islam dan budaya. Kami, Alhamdulillah Muslim dan dengan merayakan hari ini, keyakinan kami tidak luntur, " katanya berargumen.
Kepentingan KomersilMenurut sebagian masyarakat Pakistan dan pakar ekonomi, perayaan hari Valentine makin terkomersialisasi. "Saya tidak mengerti mengapa Valentine dirayakan di Barat, di mana segala sesuatunya sudah dijadikan produk komersil, bahkan cinta, " kata Hussein.
"Saya melihat kebiasaan ini tidak lebih sebagai event komersil" sambungnya.
Menurut para ekonom, bisnis terkait perayaan hari Valentine bisa mencapai 160 juta dollar di seluruh Pakistan.
Wartawan ekonomi, Sohail Afzal mengatakan, hari Valentine sudah menjadi event komersil di kota-kota besar dalam lima atau enam tahun terakhir."Event ini dipromosikan oleh perusahaan-perusahaan multi nasional, perusahaan telepon genggam, hotel dan lainnya hanya untuk kepentingan komersil, " kata Afzal.
"Agama kami (Islam) mengajarkan kami untuk bersikap baik dan saling mencintai antar seluruh anggota keluarga seumur hidup kami. Bagi saya aneh, melihat sejumlah orang menantikan kedatangan suatu hari di mana mereka bisa menunjukkan kasih sayang pada isteri atau saudara-saudaranya yang lain, " kata Tanya Hussein, seorang guru.
Zohaib seorang eksekutif di perusahaan multi nasional di Karachi bahkan menilai hari Valentine sebagai perayaan yang "terkesan bodoh."
"Saya pikir, bagi pasangan menikah, romatisme bahkan bisa dilakukan hanya dengan duduk bersama pada malam hari sambil menikmati kopi. Sengaja membuat rencana untuk satu hari seperti itu, terkesan bodoh sekali, " ujar Zohaib.
Sebagian besar masyarakat Pakistan tidak begitu peduli dengan hari Valentine. "Saya tidak tahu hari apa itu?" kata Jummah Shah seorang buruh di pelabuhan Karachi.
Menurut Jummah, masyarakat Pakistan tidak punya waktu mengingat apalagi merayakan hari Valentine, karena mereka harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
"Kami tidak punya waktu untuk hal semacam itu, " katanya sambil tertawa lebar.
Ia menyambung, "Acara-acara seperti itu hanya untuk mereka yang punya banyak uang. Sedangkan saya hampir tidak mampu mencari nafkah untuk keluarga saya. Saya tidak punya waktu untuk memberi hadiah atau bunga. "
Budaya BaratMeski pemerintah Pakistan-negara yang mayoritas penduduknya Muslim-tidak melarang mereka yang ingin merayakan Valentine, para ulama di negara itu sejak lama menyatakan bahwa perayaan itu merupakan produk budaya Barat.
"Ini adalah taktik yang digunakan Barat untuk merusak pemikiran anak-anak muda kita. Apa hubungannya cinta dengan pesta anggur dan dansa-dansa, saling bertukar hadiah dan berkumpulnya pasangan-pasangan yang belum menikah, " kritik Khalil ar-Rahman, seorang imam masjid di Pakistan.
Ia menambahkan, kebiasaan merayakan hari Valentine bisa mendorong hubungan pra-nikah yang dilarang dalam Islam.
"Masyarakat kita tidak seperti masyarakat Barat di mana seorang anak harus berpisah dengan orang tuanya saat ia sudah berusia 18 tahun ke manapun mereka mau pergi. Kita tidak bisa membiarkan anak-anak gadis dan anak laki-laki kita melakukan hubungan pra-nikah, " papar ar-Rahman.
Meski demikian, ada segelintir orang Pakistan yang merayakan hari Valentine dengan alasan hanya sebagai selingan untuk mengurangi kejenuhan hidup sehari-hari.
"Saya capek dengan rutinitas sehari-hari, khususnya menjaga anak-anak. Setiap hari ulang tahun perkawinan, ulang tahun kelahiran dan hari Valentine, saya bisa mendapatkan alasan untuk bisa mengenakan gaun dan pergi keluar bersama suami tanpa anak-anak, " kata Ghazala, seorang ibu rumah tangga berusia 21 tahun.
Ghazala mengaku tidak peduli dengan asal muasal hari Valentine yang berakar pada agama Kristen. "Siapa yang peduli? Saya merayakannya hanya untuk melepaskan kepenatan dari rutinitas sehari-hari, tidak lebih, " tukasnya.
Ahmad, seorang mahasiswa mendukung pernyataan Ghazala. "Segala sesuatu selayaknya jangan selalu dikaitkan dengan Islam dan budaya. Kami, Alhamdulillah Muslim dan dengan merayakan hari ini, keyakinan kami tidak luntur, " katanya berargumen.
Kepentingan KomersilMenurut sebagian masyarakat Pakistan dan pakar ekonomi, perayaan hari Valentine makin terkomersialisasi. "Saya tidak mengerti mengapa Valentine dirayakan di Barat, di mana segala sesuatunya sudah dijadikan produk komersil, bahkan cinta, " kata Hussein.
"Saya melihat kebiasaan ini tidak lebih sebagai event komersil" sambungnya.
Menurut para ekonom, bisnis terkait perayaan hari Valentine bisa mencapai 160 juta dollar di seluruh Pakistan.
Wartawan ekonomi, Sohail Afzal mengatakan, hari Valentine sudah menjadi event komersil di kota-kota besar dalam lima atau enam tahun terakhir."Event ini dipromosikan oleh perusahaan-perusahaan multi nasional, perusahaan telepon genggam, hotel dan lainnya hanya untuk kepentingan komersil, " kata Afzal.